Jumat, 17 Juni 2016

Bias Gender dalam Budaya Masyarakat

Jika ditelusuri keberlangsungan keterpurukkan perempuan salah satunya dilatarbelakangi oleh “kekurangarifan” dalam menafsirkan dalil-dalil agama Islam yang kemudian seringkali dijadikan dasar utuk menolak kesetaraan jender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi untuk melegitimasi paradigma patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan dengan pendefinisian yang negatif. Pendefinisian sosok perempuan yang negatif ini kemudian diwariskan secara turun temurun yang pada akhirnya mengendap dalam alam bawah sadar perempuan yang menimbulkan ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya sebagai hamba tuhan. Dengan kata lain pemahaman akan posisi perempuan yang bias gender sudah dengan sendirinya tertradisikan di masyarakat yang dibakukan oleh konstruksi budaya dan doktrin keagamaan serta ditopang oleh nilai-nilai kultural dan ideologis.

Menurut Mohammad Yasir Alimi, ketidakadilan dan diskriminasi perempuan disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor budaya dan hukum. Dalam masyarakat terdapat budaya yang cenderung male chauvinistic, dimana kaum laki-laki menganggap diri dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior.Budaya male chauvinistic itu diperkokoh dengan ideologi misoginis (sikap benci kepada perempuan) dan ideologi patriarki. Dalam isi hukum, budaya hukum, serta proses dan pembuatan dan penegakkan hukum yang dibuat negara, seringkali diskriminatif terhadap perempuan, karena pembuat hukum tidak respon terhadap kebutuhan masing-masing jenis kelamin (gender blind) dan tidak memahami kebutuhan spesifik perempuan.

Sementara itu menurut Masdar. F. Mas’udi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat disebabkan oleh banyak faktor. Pada awalnya adalah disebabkan adanya stereotype yang cenderung merendahkan posisi kaum perempuan, seperti bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional daripada nalar, cengeng tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah, dan sebagainya. Mmenurutnya ada empat persoalan yang menimbulkan stereotype terhadap perempuan;

Pertama, melalui subordinasi, kaum perempuan harus tunduk kepada kaum laki-laki. Pemimpin (imam) hanya pantas dipegang oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya boleh menjadi yang dipimpin (ma’mum). Perempuan boleh menjadi pemimpin hanya terbatas pada kaumnya saja, yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan utama kaum laki-laki, misalnya di Dharma Wanita, Muslimat, Aisyiah, Fatayat dan sebagainya.
Kedua, Perempuan cenderung dimarginalkan, yaitu diposisikan dipinggir. Dalam kegiatan masyarakat, perempuan paling tinggi hanya menjadi seksi konsumsi atau penerima tamu saja. Dalam rumah tangga, perempuan adalah konco wingking di dapur.
Ketiga,Kaum perempuan berada dalam posisi yang lemah, karenanya kaum perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan (violence) oleh kaum laki-laki. Dalam masyarakat, bentuk kekerasan itu mulai dari digoda, dilecehkan, dipukul, dicerai sampai diperkosa.
Keempat,akibat ketidakadilan gender itu, kaum perempuan harus menerima beban pekerjaan yang lebih berat dan lebih lama daripada yang dipikul kaum laki-laki. Dalam bekerja, laki-laki paling aktif maksimal bekerja rata-rata 10 jam/hari, sedangkan perempuan bekerja 18 jam/hari. Pada umumnya beban ini dianggap remeh oleh kaum laki-laki, karena secara ekonomi dinilai kurang berarti.

Dengan demikian manifestasi ketidakadilan gender jika dirumuskan di dalam sektor kehidupan antara lain terdapat pada ;
  • Sektor Budaya, perempuan terkungkung dengan stereotype yang diletakkan pada dirinya untuk tidak keluar dari peran dommestiknya. Stereotype ini akan berimplikasi pada ketabuannya untuk dapat berpendidikan tinggi. 
  • Sektor Domestik dan publik, perempuan akan selalu menjadi korban kekerasan
  • Sektor ekonomi, perempuan mengalami marginalisasi dan dipaksa berperan ganda
  • Sektor Politik, perempuan menjadi subordinasi dari kekuasaan laki-laki.

Mencermati fenomena di atas, menurut analisa Mansoer Faqih disebabkan oleh banyak faktor antara lain;
Pertama, adanya arogansi laki-laki yang sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada perempuan iuntuk berkembang secara maksimal.
Kedua, adanya anggapan kalau laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama.
Ketiga, adanya kultur yang selalu memenangkan laki-laki yang telah mengakar di masyarakat.
Keempat, norma hukum dan kebijakkan politik yang diskriminatif.
Kelima, perempuan sangat rawan perkosaan atau pelecehan seksual dan bila ini terjadi akan merusak citra dan norma baik di keluarga dan masyarakat, sehingga perempuan harus di kekang oleh aturan-aturan khusus yang memenjarakan perempuan dalam tugas domestik saja.

Dengan demikian bisa dipahami bahwa terbentuknya perbedaan gender yang berakibat pada munculnya ketidakdilan gender tersebut dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikostruksi secara sosial, budaya, melalui ajaran agama bahkan juga oleh negara. Melalui proses yang panjang tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang seolah-olah bersifat biologis dan tak bisa diubah lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar