Jumat, 17 Juni 2016

Gender dalam Diskursus Sosial

Istilah gender masih relatif baru dalam tradisi kamus sosial, politik, hukum dan terutama agama di Indonesia. Di sisi lain, terma gender masih cenderung dipahami secara pejoratif. Banyak orang masih sangat antipati dan apriori terhadap istilah gender. Bagi banyak orang, kata gender bernuansakan semangat pemberontakan kaum perempuan yang diadopsi dari nilai-nilai Barat yang tidak bermoral dan tidak religius.

Jauh dari apa yang sudah terlanjur dituduhkan banyak orang mengenai isu gender selama ini, sesungguhnya diskursus gender mempersoalkan terutama, hubungan sosial, kultural,hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, satu hal yang harus ditegaskan bahwa pemikiran tentang gender, pada intinya hanya ingin memahami, mendudukkan dan menyikapi relasi laki-laki dan perempuan secara lebih proporsional dan lebih berkeadilan dalam relasi antara keduanya sebagai hamba tuhan.

Konsep gender sendiri sebetulnya sangat sederhana walau ia sering dikaburkan dengan pengertian jenis kelamin.Masyarakat umumnya mengidentifikasikan gender dengan jenis kelamin (sex). Sebagai langkah awal perlu ditegaskan bahwa isu gender tidak dapat dipisahkan dari variabel jenis kelamin; bahkan gender secara sosiologis berawal dari perbedaan jenis kelamin. Jenis kelamin adalah konsep biologis sebagai identitas kategorial yang membedakan laki-laki (jantan) dan perempuan (betina).

Identitas jenis kelamin dikonstruksikan secara alamiah, kodrati, yang merupakan pemberian distingtif yang kita bawa sejak lahir. [2]Akibatnya, jenis kelamin bersifat tetap, permanen, dan universal. Sedangkan gender adalah seperangkat atribut dan peran sosial-kultural yang menunjukkan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin.Tidak seperti jenis kelamin yang bersifat kodrati, gender dikonstruksikan secara sosial maupun kultural melalui proses sosial yang sangat dinamis. [3] Sesuai dengan asal usulnya, pembentukan gender didasarkan pada espektasi nilai-nilai sosial dan kultural. Oleh sebab itu, gender dapat berubah (changeable) sewaktu-waktu seiring dengan perubahan dimensi ruang dan waktu.

Menurut Faqih, [4] gender dipengaruhi dan dibingkai oleh banyak hal, dan komponen determinatifnya sangat variatif, seperti nilai-nilai budaya, tradisi agama, sosial dan sistem politik. Gender dikonstruksi baik sengaja maupun tidak, dan disosialisasikan pertama kali melalui institusi keluarga, lingkungan sosial dan sekolah, dan kemudian dicarikan dasar penopang ideologisnya untuk menguatkan jenis perbedaan tersebut. Dalam kaitan di atas, teks dan doktrin keagamaan sering dijadikan sebagai tempat berlindung dan acuan utama untuk merumuskan pemikiran diskursif tentang gender

Meski demikian perlu dicatat bahwa gender tidak semata –mata mempersoalkan perbedaan dan pembedaan un sich antara laki-laki dan perempuan; terlebih penting lagi ia menyangkut dominasi baik dari konteks relasi maupun distribusi kekuasaan. [5] Kondisi inilah –disadari atau tidak-yang seringkali melahirkan dan melembagakan berbagai ketidakadilan gender.
Secara konseptual ketidakadilan yang berbasis gender sebagai sebuah bentuk refleksif pendefinisian dan pembakuan atas peran-peran yang berbeda (yang seringkali diskriminatif) pada laki-laki dan perempuan terhadap sesuatu yang didasarkan atas pembagian kerja menurut kategori jenis kelamin dan asumsi ideologi patriarki. Akibat kuatnya ideologi gender yang patriarkis yang berkembang di masyarakat ini, maka laki-laki dan perempuan tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan peran-peran sosial dan kultural karena secara faktual ketidakadikan gender telah termanifestasikan dalam pelbagai bentuk keyataan sosial, budaya, ekonomi, politik dan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar