BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk
mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah
ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat
sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang
dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi
sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka
mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola
berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school
self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau
manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan
yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni
sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen
sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan
material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain
dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena
itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah,
memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang
tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang
cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga
pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang
hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang
integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari
masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada
masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2
masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling
berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, masyarakat adalah pemilik sekolah,
sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.
Apa yang dimaksud dengan
manajemen berbasis sekolah (MBS)?
2.
Bagaimana penerapan manajemen
berbasis sekolah (MBS)?
C. Tujuan dan Manfaat
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini
bertujuan :
1.
Untuk mengetahui Manajemen
berbasis sekolah (MBS)?
2.
Untuk mengetahui penerapan
Manajemen berbasis sekolah (MBS)?
Adapun manfaat dari makalah ini adalah :
1.
Sebagai solusi alternatif dalam
mengelola dan memanejemen pendidikan di sekolah
2.
Menambah wawasan penulis pembaca
makalah ini dalam memahami contoh dari perubahan dan inovasi pendidikan dalam
aspek manejemen dan pengololaan pendidikan khususnya di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1) Pengertian Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based
management”. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan
otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam kerangka
kebijakan pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif baru
dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan
kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS)
adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan.
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS)
dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan
secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan
istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan
berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen
(manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih
luas dari pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan
ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam hal ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah
administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan
sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna
menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian
manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan
sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan pada kita
bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak sendiri,
tetapi membutuhkan orang lain untuk bekerja sama dengan baik.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi
mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
a.
merencanakan (planning)
b.
mengorganisasikan (organizing)
c.
mengarahkan (directing)
d.
mengkoordinasikan (coordinating)
e.
mengawasi (controlling)
f.
mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan
mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan
komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2) Tujuan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
a.
Meningkatkan mutu pendidikan
melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan
sumber daya yang tersedia;
b.
Meningkatkan kepedulian warga
sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan
keputusan bersama;
c.
Meningkatkan tanggung jawab
sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya;
dan
d.
Meningkatkan kompetisi yang
sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang
memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan
berikut:
1.
Kebijaksanaan dan kewenangan
sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
2.
Bertujuan bagaimana memanfaatkan
sumber daya lokal.
3.
Efektif dalam melakukan
pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan,
tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
4.
Adanya perhatian bersama untuk
mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah,
dan perubahan perencanaan.
3) Manfaat Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya:
1.
Dengan kondisi setempat, sekolah
dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada
tugasnya;
2.
Keleluasaan dalam mengelola
sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong
profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun
pemimpin sekolah;
3.
Guru didorong untuk berinovasi;
4.
Rasa tanggap sekolah terhadap
kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan
tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
4)
Karakteristik
Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)
Leithwood K., & Menzies T. (1998) (Forms and effects
of school-based management: a review. Educational policy, vol. 12, no. 3,
pp.325-347. 13) mengidentifikasi karakteristik MBS mencakup 4 aspek, yaitu:
a.
Kontrol
administratif: dibawah kewenangan kepala sekolah.
b.
Kontrol
professional: dibawah kewenangan korps guru
c.
Kontrol
masyarakat: dibawah kewenangan wali siswa melalui dewan sekolah
d.
Kontrol
keseimbangan: kontrol professional dan kontrol masyarakat diperagakan secara
seimbang
5)
Konteks
Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)
Konteks
penerapan MBS adalah dalam rangka membentuk sekolah yang memiliki ke-mandirian,
kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas sebagaimana pesan PP 17,
2007 pasal 49; “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah mene-rapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan:
a.
Kemandirian
Kemandirian dapat diartikan sebagai kemandirian dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dari sisi program dan
pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Jadi kemandirian
sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepen-tingan
warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
b.
Kemitraan
Setiap warga sekolah mempunyai fungsi dan peran yang
spesifik. Hubungan antar warga sekolah didasarkan atas kemitraan atau partnership
yaitu bentuk hubungan setara dalam berbagi tang-gung jawab sesuai dengan
fungsi dan perannya.
c.
Partisipasi
Sekolah dapat mewujudkan visinya kalau semua warga
terlibat sesuai dengan fungsi dan peran-nya. Pelibatan warga sekolah dalam
penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keah-lian, batas kewenangan, dan
relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi war-ga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan
keter-bukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan.
Keterbukaan yang di-maksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan.
d.
Keterbukaan
Keterbukaan memberi kesempatan kepada warga sekolah
untuk mengetahui hal-hal yang sedang terjadi dan memahami kondisi nyata
sekolah. Pemahaman ini menjadi awal tum-buhnya kepedulian warga sekolah.
e.
Akuntabilitas
MBS harus dipahami sebagai model
pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah. Sebagai konsekuensinya,
sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah
berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan
sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti
akuntabilitas publik me-nyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban
penyelenggara sekolah.
B.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru”
dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school
based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini
sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of
School Administrators, National Association of Elementary School Principals,
and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen
berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya
gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan
pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk
dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala
sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan
terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin
pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang
menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan
sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam
pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan
birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan.
Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk
mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang
penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah
pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat,
kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke
daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang
masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima
di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana
pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang
berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu
kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan
serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil.
Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS,
manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah
pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang
sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat
keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam
kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum,
standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin
melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan
yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar
siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan
kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen
berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai
transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti
Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari
satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di
beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat
pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis
sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu
indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah
diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili
pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu
jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari
pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari
empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri
sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi
dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti
kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan
bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap
setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah
diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada
laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar
dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan
nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi,
alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah
diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab
di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk
memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah
bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap
hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil
unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh
sekolah.
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas
gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk
menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting
artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan
tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala
sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan
standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap
sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik
kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah
menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok,
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik
presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok.
Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota
masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan
pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan
kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut :
1.
MBS harus mendapat dukungan staf
sekolah.
2.
MBS lebih mungkin berhasil jika
diterapkan secara bertahap.
3.
Staf sekolah dan kantor dinas
harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar
menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4.
Harus disediakan dukungan
anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara
teratur.
5.
Pemerintah pusat dan daerah
harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah
selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
C. Peran Masing-Masing Pihak Dalam MBS
Pihak-pihak
yang dimaksud dalam manajemen berbasis sekolah adalah kantor pendidikan pusat,
kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawas sekolah,
kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat luas (lih. uraian selengkapnya
dalam Nurkolis, 2003: 115-128).
1. Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah
Peran
dan fungsi Departemen Pendidikan di Indoensia di era otonomi daerah sesuai
dengan PP No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain
menetapkan standar kompetensi siswa dan warga, peraturan kurikulum nasional dan
sistem penilaian hasil belajar, peneytapan pedoman pelaksanaan pendidikan,
penetapan pedoman pembiayaan pedidikan, penetapan persyaratan, perpindahan,
sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan proses
pendidikan yang bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah kabupaten/kota
dan antra daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga
keberlangsungan pembentukan budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa
nasionalisme melalui program pendidikan.
Peran
pemerintah daerah adalah menfasilitasi dan membantu staf sekolah atas
tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan
kinerja siswa dan seleksi karyawan. Dalam kaitannya dengan kurikulum,
menspesifikasi tujuan, sasaran, dan hasil yang diharapkan dan kemudian
memberikan kesempatan kepada sekolah menentukan metode untuk menghasilkan mutu
pembelajaran.
Pemerintah
kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1) memberikan pelayanan
pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri dan swasta; 2) memberikan
pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh aset atau sumber daya
pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku
pelajaran, dana pendidikan dan sebagainya; 3) melaksanakan pebertugas mbinaan
dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas pada satuan pendidikan.
Selain itu dinas kab/kota bertugas sebagai evaluator dan inovator, motivator,
standarisator, dan informan, delegator dan koordinator.
2.
Peran
Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah
Dewan
sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan kebijakankebijakan yang
lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi baik untuk pemerintah daerah dan
sekolah itu sendiri, menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah dengan
mengacu kepada ketentuan nasional dan daerah, menganalisis kebijakan
pendidikan, melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat, menyatukan seluruh
komponen sekola.
Pengawas
sekolah berperan sebagai fasilitator antara kebijakan pemda kepada
masing-masing sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan anggarannya
serta memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam
menerjemahkan visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk mengembangkan
profesionalisme staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, bertindak
sebagai model dalam melaksanakan MBS dengan cara melakukannya sendiri dan
menciptakan jalur komunikasi antara sekolah dan staf pemda.
3.
Peran
Kepala Sekolah
Pada
tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral sebagai figur pengambil
kebijakan dan keputusan strategis dalam pengembangan sekolah. Untuk itu dalam
kerangka MBS integritas dan profesionalitas kepala sekolah sangat dibutuhkan.
Untuk itu peran kepala sekolah memiliki banyak fungsi antara lain : Pertama,
sebagai evaluator melakukan pengukuran seperti kehadiran, kerajinan dan
pribadi para guru, tenaga kependidikan, administrasi sekolah dan siswa. Kedua,
sebagai manajer memahami dan mampu mengaplikasikan fungsi-fungsi manajerial
(planning, organizing, actuating, dan controling (lih. juga Ernie
T. Sule dan Kurniawan Saefullah, 2005:6). Ketiga, sebagai administrator
bertugas, sebagai pengendali struktur organisasi (pelaporan dan kinerja
sekolah), melaksanakan administrasi substantif (kurikulum, siswa, personalia,
keuangan, sarana, humas dan administrasi umum). Keempat, sebagai
supervisor (memberikan pembinaan atau bimbingan kepada para guru dan tenaga
kependidikan). Kelima, sebagai leader (mampu menggerakkan orang lain
agar melakukan kewajibannya secara sadar dan sukarela). Keenam, sebagai
inovator (cermat dan cerdas melakukan pembaharuanpembaharuan dan
inovasi-inovasi baru). Ketujuh, sebagai motivator (memberikan semangat
dan dorongan kepada para guru dan staf untuk bergairah dalam pekerjaan).
Di
samping enam fungsi di atas Wohlstetter dan Mohrman mengatakan bahwa kepala
sekolah adalah sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion.
Sebagai designer membuat rencana dengan memberikan kesempatan untuk terciptanya
diskusidiskusi (secara demokratis) menyangkut isu-isu dan permasalahan di
seputar sekolah dengan tim pengambil keputusan sekolah. Sebagai fasilitator
mendorong proses pengembangan kemampuan seluruh staf dan mampu menyediakan dan
mempergunakan semua sumber daya untuk pengembangan sekolah. Sebagai liasion atau
penghubung sekolah dengan dunia di luar sekolah, membawa ide-ide baru dan
hasil-hasil penelitian di sekolah dan mampu mengkomunikasikan kinerja dan hasil
sekolah kepada stakeholder di luar sekolah (Nurkolis, 2003: 119-122).
Dari fungsi fungsi di atas E, Mulyasa (2005:97) menambahkan satu fungsi lagi,
yakni sebagai educator (pendidik), yakni mampu memberikan pembinaan (mental,
moral, fisik dan artistik) kepada para guru dan staf serta para siswa.
4.
Peran
Para Guru
Pedagogi
reflektif menunjuk tanggung-jawab pokok pembentukan moral maupun intelektual
dalam sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan melalui peran para
guru hubungan personal autentik untuk penanaman nilai-nilai bagi para siswa
berlangsung (Paul Suparno, dkk, 2002:61-62). Untuk itu guru yang profesional
dalam kerangka pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain
kompetensi kepribadian (a.l. integritas, moral, etika dan etos kerja),
kompetensi akademik (a.l. sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya
dan belajar belajar) dan kompetensi kinerja (a.l. terampil dalam pengelolaan
pembelajaran).
Pemberdayaan
dan akuntabilitas para guru adalah syarat penting dalam MBS. Menurut Cheng
(1996) peran para guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan, dan
pengimplementasi program pengajaran (Nurkolis, 2003:123).
5.
Peran
Para Administrator
Cheng
(1996) juga mengemukakan bahwa peran administrator sekolah dalam MBS adalah
pengembang dan pemimpin dalam mencapai tujuan. Mereka mengembangkan
tujuan-tujuan baru untuk sekolah secara kontekstual dan memimpin warga sekolah
untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsifungsi sekolah.
Mereka memperbesar sumber-sumber daya untuk mempromosikan perkembangan sekolah
(Nurkolis, 2003: 23).
6.
Peran
Orang Tua dan Masyarakat
Karakteristik
yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah pemberdayaan partisipasi para
orang tua dan masyarakat. Peran orang tua dan masyarakat secara kelembagaan
adalah dalam dewan sekolah atau komite sekolah. Filosofi yang menjadi landasan
adalah bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah dalam keluarga (orang
tua) dan masyarakat adalah pelanggan pendidikan yang perkembangannya
dipengaruhi oleh kualitas para lulusan. Sekolah memiliki fungsi subsidier,
fungsi primer pendidikan ada pada orang tua (Piet Go, 2000: 46). Untuk itu
orang tua dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pengelolaan dan pengembangan
sekolah.
Menurut
Cheng (1989) ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orang tua dan masyarakat
berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school-based
dengan cara mengajak orang tua siswa datang ke skolah melalui
pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi guru-orang tua dan mengunjungi anaknya
yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan home-based,
yaitu orang tua membantu anaknya belajar di rumah bersama-sama dengan guru yang
berkunjung ke rumah (Nurkolis, 2003:126).
Sedangkan
peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan
menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol
sosial dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Peran tokoh tokoh masyarakat
dengan jalan menjadi penggerak (menggerakkan masyarakat supaya berpartisipasi
dalam pendidikan), menjadi informan dan penghubung (menginformasikan harapan
dan kepentingan masyarakat kepada sekolah, dan menginformasikan sekolah kepada
masyarakat), koordinator (mengkoordinasikan kepentingan sekolah dengan
kebutuhan bisnis di lingkungan masyarakat, misalnya praktek, magang, dsb),
pengusul (mengusulkan kepada pemerintah daerah agar ada kebijakan, mis. pajak
pendanaan pendidikan).
D. Hambatan
Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak
berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
- Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang
sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan
yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih
banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan
anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi
yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak
semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin
menyediakan waktunya untuk urusan itu.
- Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya
menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara
yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan
memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
- Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan
besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena
mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu
menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan
pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai
terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil
kemungkinan besar tidak lagi realistis.
- Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak
atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini.
Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang
hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan,
komunikasi, dan sebagainya.
- Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab
Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi
dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran
dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak
kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu
untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
- Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam
mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan
yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan
besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal,
mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan
MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi
peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja
tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada
level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan
yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di
tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah
memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam
pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
E.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan
Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma
desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan
MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah
menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni :
1.
Peningkatan kapasitas dan
komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya
untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi
penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will
need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De
grouwe menegaskan.
2.
Membangun budaya sekolah (school
culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan
sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model
memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing
Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat
laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana
kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite
Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3.
Pemerintah pusat lebih memainkan
peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan
evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang
diterima sekolah.
4.
Mengembangkan model program
pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih
banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan
sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang
lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
BAB III
KESIMPULAN
Satu cara
yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara
menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita
membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali
dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara
interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda,
bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat
relatifnya.
Pertanyaan
mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang
tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara
sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu
bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar
jumlah dari bagian-bagiannya?.
Secara
sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang
akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan
kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam
pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah,
penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, 2001. Konsep dan
Pelaksanaan dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
Jakarta: Dikmenum.
Depdiknas, 2001. Panduan Monitoring dan
Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta:
Dikmenum.
Hasibuan, Malayu. 2003. Manajemen Dasar,
Pengertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara.
Mansoer, Hamdan. 1989. Pengantar Manajemen.
Jakarta: P2LPTK.
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah
Konsep, Strategi dan Implementasi.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suprihatin dkk, 2004. Manajemen Sekolah.
Semarang: UPT UNNES Press.
Sonhadji, Ahmad. 2003. Modul Bahan-Bahan
Kuliah Manajemen Strategik. Universitas Negeri Malang
Nurkolis, 2003. Manajemen Berbasis
sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
Departemen
Pendidikan Nasional, 2002, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis SekolahKonsep
Dasar, Jakarta : Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah, Ditjen SLTP.
___________________________,
2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Mulyasa
E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional, dalam Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung
: PT Remaja Rosdakarya.
_________,
2005, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya.
Nurkolis,
2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta :
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Tim
Redaksi Fokusmedia, 2003, Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKDAS (sistem Pendidikan Nasional) 2003, Bandung: Fokusmedia.
Tilaar,
H.A.R., 2004, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan,Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar